"cesi"
aku ingat sekali, waktu itu kamu berada di bawah terik sengatan matahari. kalau gak salah kamu mengenakan gamis, di lengkapi hijab sebatas pinggangmu. langkahmu berubah haluan, seketika suara azan berkumandang. sepintas ku lihat matamu memerah, air matamu melintas seolah tak mengenal lampu merah. tapi langkahmu tetap kukuh, menujuh sumber suara azan itu.
kebetulan sekali kitan berpapasan di tempat air wudhu, rasanya aku ingin menegurmu, tapi aku belum memiliki keberanian. entah kenapa rasa keberanianku tiba-tiba saja menghilang, seketika aku bertemu secara dekat. kurang lebih lima belas detik ku menatap wajahmu, secara dekat. keaslian wajahmu terlihat jelas olehku, spontan saja batinku mengucap "masya allah". tapiku masih melihat duka di mata indahmu, terlihat dengan jelas sekali.
setelah ku selesai menunaikan sholat dzuhurku, kamu masih saja menadakan tangan, kali ini air matamu menyucur semakin menjadi. ingin sekaliku mendekati mu dan bertanya "hey!!!, kamu tak perlu menangis, ceritakan saja padaku apa yang terjadi". ingin sekali ku berkata seperti itu, tapiku harus menyimpan kata-kata itu, karenaku tau kamu lagi curhat kepada sang maha cinta. jujur saja aku pun tak tega melihat kesedihan mu itu. tapi tetap saja keberanian ku belum terisi total.
Kulihat langkah mu terparah patah, beranjak keluar halaman masjid, masih tampak mata merah mu, masih nyaris terdengar sedu- sedu mu. Ku perhatikan terus sampai rumah mu. Saat itulah ku tau tempat tinggal mu.
Selang beberapa hari, kita dipertemukan kembali oleh sang maha cinta, kali ini kau berdua bersama dengan teman mu, dan kebetulan sekali teman mu itu adalah sahabatku waktu kuliah dulu.
"Assalamualaikum, irma".kata ku
"Waalaikumsalam, Angga ya".
"Ha ha ha, iya aku Angga".
"Apa? Kabar kamu sekarang".
"Baik, kamu apa kabar".
"Alhamdulillah, baik". Katanya " kamu ngapain di kota ini".
"Aku mondok di pesantren Al ikhlas" kataku.
"Kamu guru di sana". katanya.
"Enggak, aku cuma menimbah ilmu agama aja"
"gitu". katanya "oh iya, ini teman aku Melissa".
Saat itu aku menjulurkan tangan ku, namun tangannya tak ingin menyentuh tangan ku. Sentak ku berfikir "oh iya, bukan muhrim".
"Namaku Angga" kata ku
"Aku Melisa" (sambil tersenyum kecil).
"Rumah kamu dekat rumah pak lurah, ya".
"Iya", katanya (simpel)
Tiba tiba Irma menyela pembicaraan kami.
"Eh, dia mah anak pak lurah, sekaligus anak kyai di pesantren kamu tinggal".
"Oh, aku pernah denger tuh tentang Melissa". Kata ku.
Kulihat Melissa lagi-lagi tersenyum kecil, tidak lepas. Seakan dia tak bisa melepaskan duka yang menjeratnya.
Telah panjang perbincangan ku, dengan mereka khususnya Irma, sedangkan Melissa begitu hambar menanggapi ku. Hal itu tak ku masukkan ke hati.
Saat ku ingin pamit pulang tiba-tiba Irma membisik ku," maaf ga, Melissa lagi galau, karena gagal dinikahi oleh tunangannya. Balas ku membisik "gak apa-apa".
"Oh iya, aku pamit dulu, soalnya mau ashar" kata ku.
"Oh, iya, ati-ati", kata Irma.
Dan Melissa tetap tersenyum seperti tadi.
"Assalamualaikum", kata ku
Mereka menjawabnya secara bersamaan, tapi suara Irma seolah mengimami salam mereka.
Aku beranjak pergi, perlahan-lahan aku meninggalkan mereka berdua.
Hari itu aku mengisi acara tausiyah, dan mulai memperkenalkan diri ku " namaku, Ahmad Al-Ghazali", santri yang sempat aku ajari berteriak, "iya pak, udah tahu"
"Bapak dari Sumatra Selatan tepatnya lubuk Linggau". Kata ku "ada yang tau"
"Gak tau pak, kalo Palembang kami tau" jawab para santri.
"Tau apanya tentang Palembang?" Kata ku.
"Pempek kapal selamnya"
"Ha ha ha, kalian" kata ku " kalo bapak kota sananya lagi, kota sebiduk Semare"
Ada salah satu santri menanyakan makna sebiduk Semare.
"Pak, apasih makna sebiduk Semare tuh"
"Sebiduk Semare tuh, satu Nusa satu bangsa" kata ku.
"Oh, satu Nusa satu bangsa"
Aku lanjutin lagi perkenalan ku.
"Bapak SMA-nya di madrasah Aliyah negeri 1 model kota lubuk Linggau, terus bapak dapak beasiswa S1 ke universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Dan bapak di tawarkan lagi beasiswa S2 di universitas darul Al hadits Al hassania. Terus bapak berada di hadapan kalian".
Mereka semua bertepuk tangan, seraya mengatakan " S3 gak dapat beasiswa, ya pak" tanya santriwati di paling pojok kananku.
"Sebenarnya bapak sudah di tawarkan beasiswa S3, tapi bapak ingin dulu di pesantren ini" kata ku. "Oh iya, kita lanjut ke tausyiahnya. Ok".
Mereka berseru menjawab "iya pak".
Tema nya tentang cinta gugur dengan sejuta luka.
Tidak ku sadari bahwa Melissa iku hadir di aula pesantren Al ikhlas, sudah setengah jalan ku melontarkan kata-kata, barulah aku sadar, bahwa Melissa ada di barisan paling tengah santriwati.
Dia begitu menghayati, dan merenungi nilai nilai tausiyah yang ku sampaikan
Saat ku mengutarakan kalimat "bila kau mencintai seseorang, maka yang harus kau cintai dahulu yaitu sang maha cinta" tangisnya makin menjadi dan hanya bisa dibendung oleh hijabnya saja.
Tersedu-sedu dia menangis, aku tak menyangka bahwa dia terlalu terbawa arus perasaan. Hingga dia dipeluk santriwati di sebelahnya. Aku pun ikut iba melihatnya.
Setelah tausyiah selesai, ku dengar ada yang memanggil dari balik daun telingaku. "Ustadz, ustadz Al-Ghazali". Aku pun langsung menoleh ke arah belakang, rupanya Melissa yang memanggil ku ustadz. Ku liat masih saja dia tersedu-sedu.
"Ustadz, ajari aku agar aku mencintai sang maha Cinta".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar